Berbunga-bunga hatiku tak bisa terlukiskan. Berpuluh-puluh orang telah tersisihkan. Bayangan indah silih berganti melintas di pelupuk mataku. Aku hanyut dalam cerita masa depan. Saat berkemas-kemas mengepak barang, senyuman tak pernah lepas dari wajahku. Tidur malamku pun sangat nyenyak dihiasi mimpi hingga menjelang shubuh aku tersentak. Dingin dan sunyi yang menyelinap seiring hujan yang baru saja turun seakan membawaku kembali berpijak di tempat ini. Aku teringat keluargaku. Aku teringat mama. Beliau adalah orang yang paling ku sayangi. Walaupun masalahku tidak bisa beliau atasi. Apakah aku benar-benar bahagia dengan kepergianku ini? Apakah kesedihan akan hilang setelah ini?
“Zakia, barang-barangmu sudah beres, Nak?” Suara mama membuyarkan lamunanku.
“Eh, Mama! Mm…sudah, Ma. Oh ya, jadi Mama ikut ngantar Zakia bersama Bang Fikri?”
“Iya. Kebetulan kakakmu hari ini off dan dia bersedia menunggui Papa.” Aku tersenyum. Senang sekali mama ikut mengantarku.
“Ini, nomor hape Tante Meli. Simpanlah! Beliau nanti akan menjemputmu di Jakarta.” Aku mengambil secarik kertas itu.
Tante Meli adalah adik ipar papa yang cukup mapan kehidupan keluarganya. Akan tetapi sampai sekarang belum dikaruniai anak. Keluarga kami jauh lebih sederhana hidupnya dari beliau. Mungkin karena itu, sedari kecil aku ditawari untuk tinggal bersama beliau. Sebagai orangtua, papa menolak niat baik mereka. Beliau merasa masih sanggup membiayai sekolah anak-anaknya walaupun gaji seorang PNS dikala itu tidak sebanyak sekarang ini. Hingga kelulusanku di salah satu perguruan tinggi di Jakarta membawaku tinggal bersamanya.
“Oh, ya! Ini hape Mama kamu bawa saja! Supaya kamu mudah hubungi Mama dan Papa. Lagi pula, penting juga untuk urusan kuliahmu nanti.”
“Trus, mama gimana?” Tanyaku sedikit ragu.
“Kakakmu kan punya hape. Nanti, kamu kirim kabar ke hapenya saja ya!”
“Oke deh, Ma!” Hape jadul itu aku terima dan ku masukkan ke dalam ransel.
Akhirnya guyuran hujan yang menyambut datangnya sang fajar berhenti. Tak lama kemudian sang surya pun sudah tersenyum malu-malu di atas sana. Ku pandangi langit, tampak mulai cerah berseri seakan mengajakku untuk segera terbang ke sana. Bis yang mengantar kami beringsut-ingsut merapat ke serambi bandara. Satu persatu penumpang turun dengan berbagai barang bawaannya. Asap rokok yang baunya tak pernah ku suka berlarian mengejarku. Ternyata pada jam segini bandara sudah dipadati orang-orang yang mengantar keluarga, saudara atau temannya. Maklumlah Bandara Internasional Minangkabau (BIM) ini baru dibuka beberapa hari yang lalu dengan fasilitas yang lebih lengkap tentunya.
Sayup-sayup terdengar deru yang mengusik. Seekor capung raksasa menginjakkan kakinya di bumi ini. Begitulah aktifitas di sini, ada pesawat yang datang dan nantinya ada pula yang pergi, bagaikan kehidupan ini.
“Hati-hati di sana, Nak! Bantu-bantu jugalah Tante mu kalau kamu ada waktu! Mama di sini akan selalu mendoakan mu. Salam untuk Tante Meli dan pak Amri.”
“Ya, Ma. Mama juga, jaga kesehatan! Semoga Papa di rumah juga cepat sembuh! Salam Zakia untuk Papa. Zakia pamit ya, Ma!”
Butir air mata hampir tidak kuasa ku bendung saat ku salami mama dan mencium tangan beliau. Tangan ini telah menggendongku, menyuapi, memandikan dan mengasuhku. Akan tetapi sampai saat ini belum ada yang bisa kuberikan untuk mama.
Tangisku hampir berontak namun seperti biasanya, aku harus terlihat tegar di hadapan mama serapuh apapun hatiku.
” Aku harus kuat demi harapan dan kebahagiaanku. Walaupun mungkin benar pepatah yang mengatakan walau hujan emas di negri orang lebih baik hujan batu di negri sendiri.” Batinku.
Sesaat kemudian kami saling berlambaian. Lambaian yang serasa menarik diriku untuk kembali.
Setelah boarding pass aku menyusuri eskalator dan jalan yang membawaku memasuki capung raksasa.Aku pun menaiki tangga pesawat itu. Dari balik jendela aku dapat melihat BIM berdiri dengan megahnya. Sesuatu yang nantinya akan menjadi kebanggaan daerahku. Sesuatu yang nantinya, aku harap akan menunggu-nunggu kedatanganku dengan suasana yang baru dan lebih hangat. Aku percaya waktu bisa merubah seseorang. Aku berharap waktu bisa mendewasakan kami semua. Dan biarlah jarak membuat kami merasa lebih memiliki.
-0.953730
100.351997