Yang Istimewa, Yang Berbahaya

Luqman Al-Hakim adalah seorang budak berkebangsaan Habasyah. Suatu ketika, sang majikan menyuruh Luqman menyembelih seekor kambing, seraya berkata, “Tunjukkan padaku, dua bagian yang paling baik dari kambing ini!”

Luqman segera mematuhi perintah sang majikan, lalu menyerahkan dua bagian dari kambing tersebut, yaitu lidah dan hati. Pada kesempatan yang lain, sang majikan kembali menyuruh Luqman menyembelih kambing sembari berkata, “Tunjukkan padaku dua bagian yang paling buruk dari kambing ini!”

Setelah menyembelihnya, Luqman lantas menyerahkan dua bagian yang paling buruk dari kambing tersebut.

Apa yang terjadi?

Sang majikan merasa terheran-heran, karena dua bagian yang ditunjukkan Luqman kali ini tidak berbeda dengan sebelumnya, lidah dan hati. Ia lantas bertanya mengenai hal itu.

Untuk mengurai tanda tanya sang majikan, Luqman mencoba menjelaskan, “Tak ada sesuatu yang lebih baik dari hati dan lidah jika keduanya baik. Begitu pula, tak ada yang lebih buruk dari hati dan lidah jika keduanya buruk.”

Disarikan dari : Luqman Al-Hakim wa Hikmatihi, karya Al-Habib Ali ibn Abdillah Al-Athas. Sumber/Oleh : ASWAJA / Nafa Estrada Agil Hasani

Redaksi KSC pada http://www.kotasantri.com

Melintasi Langit Biru

Berbunga-bunga hatiku tak bisa terlukiskan. Berpuluh-puluh orang telah tersisihkan. Bayangan indah silih berganti melintas di pelupuk mataku. Aku hanyut dalam cerita masa depan. Saat berkemas-kemas mengepak barang, senyuman tak pernah lepas dari wajahku. Tidur malamku pun sangat nyenyak dihiasi mimpi hingga menjelang shubuh aku tersentak. Dingin dan sunyi yang menyelinap seiring hujan yang baru saja turun seakan membawaku kembali berpijak di tempat ini. Aku teringat keluargaku. Aku teringat mama. Beliau adalah orang yang paling ku sayangi. Walaupun masalahku tidak bisa beliau atasi. Apakah aku benar-benar bahagia dengan kepergianku ini? Apakah kesedihan akan hilang setelah ini?

“Zakia, barang-barangmu sudah beres, Nak?” Suara mama membuyarkan lamunanku.

“Eh, Mama! Mm…sudah, Ma. Oh ya, jadi Mama ikut ngantar Zakia bersama Bang Fikri?”

“Iya. Kebetulan kakakmu hari ini off dan dia bersedia menunggui Papa.” Aku tersenyum. Senang  sekali mama ikut mengantarku.

“Ini, nomor hape Tante Meli. Simpanlah! Beliau nanti akan menjemputmu di Jakarta.” Aku mengambil secarik kertas itu.

Tante Meli adalah adik ipar papa yang cukup mapan kehidupan keluarganya. Akan tetapi sampai sekarang belum dikaruniai anak. Keluarga kami jauh lebih sederhana hidupnya dari beliau. Mungkin karena itu, sedari kecil aku ditawari untuk tinggal bersama beliau. Sebagai orangtua, papa menolak niat baik mereka. Beliau merasa masih sanggup membiayai sekolah anak-anaknya walaupun gaji seorang PNS dikala itu tidak sebanyak sekarang ini. Hingga kelulusanku di salah satu perguruan tinggi di Jakarta membawaku tinggal bersamanya.

“Oh, ya! Ini hape Mama kamu bawa saja! Supaya kamu mudah hubungi Mama dan Papa. Lagi pula, penting juga untuk urusan kuliahmu nanti.”

“Trus, mama gimana?” Tanyaku sedikit ragu.

“Kakakmu kan punya hape. Nanti, kamu kirim kabar ke hapenya saja ya!”

“Oke deh, Ma!” Hape jadul itu aku terima dan ku masukkan ke dalam ransel.

Akhirnya guyuran hujan yang menyambut datangnya sang fajar berhenti. Tak lama kemudian sang surya pun sudah tersenyum malu-malu di atas sana. Ku pandangi langit, tampak mulai cerah berseri seakan mengajakku untuk segera terbang ke sana. Bis yang mengantar kami beringsut-ingsut merapat ke serambi bandara. Satu persatu penumpang turun dengan berbagai barang bawaannya. Asap rokok yang baunya tak pernah ku suka berlarian mengejarku. Ternyata pada jam segini bandara sudah dipadati orang-orang yang mengantar keluarga, saudara atau temannya. Maklumlah Bandara Internasional Minangkabau (BIM) ini baru dibuka beberapa hari yang lalu dengan fasilitas yang lebih lengkap tentunya.

Sayup-sayup terdengar deru yang mengusik. Seekor capung raksasa menginjakkan kakinya di bumi ini. Begitulah aktifitas di sini, ada pesawat yang datang dan nantinya ada  pula  yang pergi, bagaikan kehidupan ini.

“Hati-hati di sana, Nak! Bantu-bantu jugalah Tante mu kalau kamu ada waktu! Mama di sini akan selalu mendoakan mu. Salam untuk Tante Meli dan pak Amri.”

“Ya, Ma. Mama juga, jaga kesehatan! Semoga Papa di rumah juga cepat sembuh! Salam Zakia untuk Papa. Zakia pamit ya, Ma!”

Butir air mata hampir tidak kuasa ku bendung saat ku salami mama dan mencium tangan beliau. Tangan ini telah menggendongku, menyuapi, memandikan dan mengasuhku. Akan tetapi sampai saat ini belum ada yang bisa kuberikan untuk mama.

Tangisku hampir berontak namun seperti biasanya, aku harus terlihat tegar di hadapan mama serapuh apapun hatiku.

” Aku harus kuat demi harapan dan kebahagiaanku. Walaupun mungkin benar pepatah yang mengatakan  walau hujan emas di negri orang lebih baik hujan batu di negri sendiri.” Batinku.

Sesaat kemudian kami saling berlambaian. Lambaian yang serasa menarik diriku untuk kembali.

Setelah boarding pass aku menyusuri eskalator dan jalan yang membawaku memasuki capung raksasa.Aku pun menaiki tangga pesawat itu. Dari balik jendela aku dapat melihat BIM berdiri dengan megahnya. Sesuatu yang nantinya akan menjadi kebanggaan daerahku. Sesuatu yang nantinya,  aku harap akan menunggu-nunggu kedatanganku dengan suasana yang baru dan lebih hangat. Aku percaya waktu bisa merubah seseorang. Aku berharap waktu bisa mendewasakan kami semua. Dan biarlah jarak membuat kami merasa lebih memiliki.

Menanti Rahasia-Mu

rahasia langitHari-hari ini berbeda dari biasanya. Ada sesuatu yang mulai menggelitik hatiku. Ahh, rasa itu mulai muncul. Suka? Semenjak melihatnya pertama kali tanpa sengaja, rasa itu mulai menjalar. Sudah ghadul bhasar kok, tapi masih kurang kali ya? Setelah rasa itu berhasil ku tepis seiring berjalannya waktu dan terpaut jarak tiba-tiba sosoknya melintas lagi di sekitarku. Datang kembali di saat aku merasa sudah siap untuk mengarungi hidup yang baru.

Masih berada pada satu lokasi walau beda instansi, membuat kami kadang bertemu meski dalam jarak yang cukup jauh. Ketika aku melihat, dia cepat mengalihkan pandangannya. Ketika dia memandang, aku segera menunduk. Apa dia punya rasa yang sama? Astaghfirullah…

Aku malu pada-Nya. Rasa ini datang sebelum waktunya. Kenapa rasa ini tak bisa ku usir pergi? Aku hanya manusia biasa. Mungkin sosok yang selama ini ku cari untuk menemani hidupku ada padanya. Lagi-lagi aku beristighfar.

“Ma! Mama, ada waktu?” Aku memanggil mama yang hendak membaringkan tubuhnya. “Ada apa, Ni?” Tanya mama sambil memutar tubuhnya.

“Beberapa bulan ini perasaan Aini tak menentu, Ma. Ada seorang ikhwan di sekitar kantor Aini. Ia aktif mengikuti kegiatan di masjid dekat kantor. Kriteria calon imam yang Aini cari sebagian besar ada padanya. Aini sudah berusaha menghilangkan rasa ini tapi belum bisa, Ma. Tak mungkin Aini harus pindah kerja agar tidak melihatnya lagi. Aini berharap bisa menjadi pendamping hidupnya, Ma.” Titik air mata mulai terasa di sudut mataku. Kenapa aku jadi melankolis begini?

“Dulu Aini pernah berkata kalau ada masalah seperti itu bisa minta bantuan seseorang untuk menanyakannya?” Tanya mama.
“Ya, dalam Islam boleh seorang perempuan menawarkan diri. Akan tetapi Aini tidak berani, Ma. Aini hanya wanita biasa tidak sebanding dengannya.”

“Tentu setiap orang ingin memiliki pasangan hidup yang baik bahkan lebih baik dari dirinya sendiri.” Sahut mama. Aini tersenyum seraya berkata, “Ya sudahlah, Ma. Mama istirahat ya! Aini cukup lega bisa berbagi dengan Mama.”

Dingin malam itu tak menghentikan langkahku untuk menemui-Nya. Aku ingin kembali curhat dan memohon pada-Nya. Karena hanya Dialah sebaik-baik penolong dan pelindung.

“Ya, Allah hanya Engkau tempat aku mengadukan segala keluh kesahku sekaligus memberikan jalan keluarnya. Aku mohon jika dialah jodoh yang terbaik bagiku dalam hal agamaku, kehidupan dunia dan akhiratku, membawa kebaikan dalam kehidupan pribadi dan sosialku, bisa membahagiakan mamaku, dan aku pun bisa membahagiakannya, maka berilah jalannya, mudahkan dan segerakan agar kami bisa bertemu dalam ketaatan kepada-Mu. Aamiin!” Air mata menggenang di pelupuk mataku.

Siang yang terik ini tidak menyurutkan langkahku untuk menambah wawasan keislaman. Berhenti dari angkot, terus menyusuri jalan menuju rumah guru ngajiku yang baru. Syukurlah aku masih ingat. Aku pindah kelompok mulai pekan lalu. Di rumah itu sudah berkumpul beliau dan akhwat yang lain. Senyum dan salam menyambut kedatanganku. Acaranya hangat dan menyenangkan. semua bersemangat diskusi. Ketika teman-teman sudah pamit pulang, Kak Siti guru ngajiku memanggil.

“Sebentar, Dek! Kakak mau bicara dengan mu.” Katanya sambil mengajakku kembali duduk. Lalu beliau mengambil sebuah amplop besar dan meletakkan di hadapanku.
“Dek, ada seorang ikhwan yang ingin mencari teman.”
Hatiku sedikit berdebar. “Siapa dia, Kak?

“Bukalah amplop itu. Kau mungkin pernah melihatnya.” Dengan tangan yang sedikit gemetar dan perasaan harap cemas aku mengeluarkan sedikit kertas itu. Terlihatlah foto si ikhwan. Mataku membulat. Lalu menatap kak Siti seolah-olah ingin minta penjelasan.

“Ya, suami Kakak satu instansi dengannya. Kami sepakat memperkenalkanmu dengannya. Rupanya ia telah mengetahui dirimu walau hanya sesosok dari kejauhan tanpa tahu nama dan latar belakang yang lebih pribadi. Ia pun sudah lama mau menyampaikan niatnya, hanya saja ia ingin fokus dulu pada kuliah S2-nya. Alhamdulillah, saat ini ia tinggal menunggu wisuda saja.”

Mataku mulai terasa hangat. inikah buah harap dan tawakal pada-Mu Ya Rabb? Dua hal yang memang tidak bisa terpisahkan. Ya, Allah. Indahnya rahasia-Mu…

Orang Tua yang Sesat

karena untaPenyair itu berangkat dari Yamamah (Najd) dengan penuh kerinduan yang besar di hati untuk bertemu Nabi Muhammad Salallahu ‘alaihi wasallam. Sepanjang perjalanan, Al-A’sya bin Qais sang penyair itu selalu melantunkan pujian untuk Rasulullah melalui sya’ir-syairnya. Ia terus menerus berjalan membelah padang pasir dengan gelora cinta yang menyala-nyala kepada Rasulullah karena tertarik pada Islam juga ingin menjauhi penyembahannya terhadap berhala-berhala.

Ketika ia hampir sampai di Madinah, sebagian orang musyrik menghalanginya dan menginterogasinya akan maksud kedatangannya. Al-A’sya pun menjelaskan maksud kedatangannya. Orang-orang musyrik itu langsung merasa khawatir. Dengan satu orang penyair saja, yaitu Hasan bin Tsabit, kaum muslimin telah dapat berbuat banyak dan kaum muslimin menjadi lebih kuat, apalagi jika sang penyair Arab, Al-A’sya bin Qais ini masuk Islam?

Segera saja mereka berkata, ”Wahai Al-A’sya, agamamu dan agama orangtuamu lebih baik bagimu.”

“Tidak, justru agamanya lebih baik dan lebih lurus,” sahutnya.

Orang-orang musyrik itu saling pandang satu sama lain dan mulailah mereka bermusyawarah mencari cara untuk mencegah Al-A’sya dari memeluk agama islam. Mereka lalu berkata, ”Wahai Al-A’sya, Muhammad itu mengharamkan zina.”

“Aku seorang lelaki tua, dan tidak punya kepentingan dengan wanita,” jawab Al-A’sya.

“Muhammad mengharamkan khamr,” kata orang-orang musyrik lagi.

“Khamr itu menghilangkan akal dan menghinakan seseorang, aku tidak berkepentingan dengan khamr.”

Ketika orang-orang musyrik itu melihat tekadnya telah begitu bulat untuk masuk Islam, mereka lantas berkata, ”Kami akan memberimu 100 ekor unta, tetapi kamu harus kembali kepada keluargamu serta mencampakkan niatmu untuk masuk Islam!”

Al-A’sya terdiam sejenak. Mulailah ia mempertimbangkan bujukan mereka. Unta sebanyak itu sebuah kekayaan yang fantastik baginya. Kemudian syetan berhasil menguasai akalnya. Al-A’sya menoleh kepada mereka seraya berkata, “Adapun dengan harta, baiklah.”

Lalu orang-orang musyrik mengumpulkan 100 ekor unta untuknya, dan Al-A’sya pun mengambilnya. Ia berbalik ke belakang dan pulang menuju kaumnya dalam keadaan masih kufur sambil menggiring unta di depannya dengan penuh suka cita.

Ia merasa dirinya telah berhasil menghimpun kepiawaian bersya’ir, martabat yang tinggi, dan kekayaan sekaligus. Akan tetapi ia lupa bahwa sesungguhnya Allah senantiasa mengikuti gerak-geriknya. Bagaimana ia berani bermaksiat kepada-Nya karena dunia, padahal di sisi-Nya sungguh terdapat perbendaharaan langit dan bumi. Gemerlap dunia dan syetan yang terus menggoda memang mudah sekali menggelincirkan langkah manusia.

Ketika Al-A’sya hampir sampai di kampungnya, dia terjungkir dari atas untanya. Tulang lehernya remuk dan ia mati dalam keadaan rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.

http://www.kotasantri.com